Looks like it's been a while, I really don't know if anyone even open this page. But I just found an interesting file during my browse on my own laptop's drive. It was this file. The file dated Saturday, November 14, 2009 10:19:00 AM. Almost two years ago. Never really got the chance to give it a title tough. So it stayed UNTITLED... so.. here it goes...
Denny
Untuk yang ketiga kalinya aku menyulut lagi api di batang rokokku.
Menghisap dalam-dalam dan membiarkannya memenuhi paru-paru, menikmatinya sesaat sebelum kuhembuskan keluar. Merasakan nikotin mengaliri pembuluh darahku, menenangkan pikiran.
Tornado coffee tidak terlalu ramai sore itu. Hanya ada dua meja yang terisi. Pasangan muda yang sedang asyik mengobrol mengisi di meja yang satu. Si lelaki berbicara dengan penuh gairah dan mata yang berbinar-binar kepada teman perempuannya. Aku tahu perasaan itu. Aku pun sedang jatuh cinta dan tergila-gila pada seorang perempuan.
Tia. Kemana dia? Aku melihat kembali blackberry-ku. Lampu merahnya tidak berkedip sama sekali. Tidak ada pesan. Aku buka blackberry messenger-nya. Disitu masih ada pesan terakhir-ku untuknya, “Kamu mau dijemput gak sayang? (sent 2 hours ago)”. Entah keberapa kali aku memeriksa blackberry-ku kalau-kalau ada pesan darinya.
Dari balik kaca kafe, aku melihat suzuki swift hitam memasuki pelataran parkir. Sesosok perempuan keluar, dan memasuki kafe. Orang yang aku tunggu. Rambutnya agak sedikit berantakan, ia biarkan saja terurai. Bahkan kaos mango favoritnya yang ia kenakan pun terlihat kusut, dan tentu saja ia memakai jeans. Seperti biasa.
“Sorry ya sob lo nunggu lama,” sapanya.
“That’s ok sis”
Matanya sembab. Aku tak tahu sebelumnya berapa lama dia menangis.
“Something to drink?” tawarku. “But remember ya sis, they don’t serve corona here.”
Sesaat aku lihat senyum melengkung di bibir Dee, sebelum akhirnya wajah sedihnya mendominasi kembali. Aku mengangkat tanganku memanggil si waiter. “Hot chocolate-nya satu sama latte-nya satu lagi ya.” Si waiter hanya mengangguk lalu pergi. Ini latte kedua-ku.
“So, you wanna start?” tanyaku.
Dee cuman menatapku dengan mata yang berkaca-kaca. Dan tak berapa lama, bulir-bulir air mulai mengalir turun ke pipinya. “Gue gak tau lagi harus gimana.”
“Apanya? Kenapa? Soal Ronny kan?”
“Lu tau kan? Status di facebook gue dua hari yang lalu? Yang gue bilang “...a wonderful lady approached me today and said 'let go your past... don't let ur past hold your future...?”
Aku cuma mengangguk. Aku ingat kalau aku juga post comment aku di statusnya itu.
“Lu tau ga sih apa yang terjadi?” Belum sempat aku menjawab, ia pun melanjutkan kalimatnya lagi. “It was weekend. Dan keluarga gue biasanya ada pengajian keluarga every Saturday. Then this lady came to me. Gue sama sekali gak kenal ama dia. It’s true that she’s still somehow related to me, since dia ada juga di pengajian itu. Tapi dia sodara jauh banget. Karena yang ikut pengajiannya banyak, gue suka ga apal satu-satu. Dan dia bilang gini, “mbak, mbak harus lepasin apa yang udah lewat mbak. Jangan sampai itu jadi menahan mbak untuk melangkah.” Dan dia bilang lagi, “Mbak, dia itu orangnya baik lho mbak. Cuman mbak berpikir dia gak se-kasta sama mbak kan? Mbak berpikir dia gak se-level sama mbak kan?”. Gue cuman bisa diem lo Den. Gue kayak tiba-tiba ditampar. Trus dia bilang lagi gini, “Orang tua mbak cuman pengen ngelihat mbak bahagia kok. Mbak gak usah khawatir. Sekarang semuanya terserah sama mbak.”
Air matanya mengalir lebih deras kali ini. Aku cuman bisa terdiam menyimaknya.
"Gue bener-bener gak tau harus gimana Den. Gue tau kalau gue selalu berpikir itu akan menjadi masalah. The status diffrerence, the family background dan semuanya. Gue tau itu akan menjadi masalah, dan gue selalu takut. Taulah, mungkin itu sebabnya my wedding blew up a year ago. Karena guenya freak out. Dia udah baik banget sama gue. Baik banget. Tapi that time, a year ago. Kayaknya he just can’t stand it anymore. But ever since, he still love me like it was before. And me? I just shut my heart from him. But he still loves me.”
Kalimat Dee terpotong oleh kedatangan si waiter yang membawakan minuman kami. Dee yang cuman tertunduk sambil berlinangan air mata rupanya turut menyita perhatiannya juga. Tapi kemudian ia tersadar kalau aku memberinya sinyal agar tidak ingin diganggu, dan ia pun beranjak pergi.
“Sis,..” sepertinya waktuku untuk berbicara. “We’ve gone thru this so many times. Ask your heart sis. Tapi gimana bisa, kalo lu-nya juga gak pernah mau coba buka hati lu buat dia?”
“Gue takut Den. Lu tau kan abis sama dia, gue sempet jalan ama si kupret? Gue trauma Den. Lu tau ga sih, jangankan nyium. Dia bahkan ga berani buat meluk gue. I’ve been treating him badly. I hit him when I got mad at him. But he never even yelled at me. Dia selalu sabar ngehadepin gue. I always ignore him, i even rarely replied his sms. Sementara kalau dia, sesibuk apapun dia. Dia pasti nyempetin buat sms gue, ngasih tau what he’s been doing. He even answer my call at his meetings.”
Pengakuannya ini tiba-tiba membuatku terhenyak, “Lu gak pernah cerita sama gue yang bagian ini Dee.”
“Iyah gue tau. This is something I keep for myself. Dan cuman sama lu aja gue cerita.”
Sudah dua tahun lebih aku kenal sama Dee, semenjak dia masuk IBM. Dan sejak saat itu kami menjadi sahabat, bahkan sekarang aku menganggapnya seperti “a sister I never had”. Dia selalu ada buat aku, terutama membantu aku dengan masalah percintaan. Tapi Dee orang yang ignorance? Wow, ini sebuah kejutan. Tiba-tiba aku merasa aku tidak kenal orang yang duduk di hadapanku ini.
“Gila yah. I thought I knew you sis. Ga nyangka aja ternyata lu bisa juga kayak gitu.”
Aku terdiam sejenak dan menyeruput latte-ku.
“Sis. Lu pernah ga sih really love someone with all your heart?”
Dee cuman terdiam.
“Answer me sis.”
“Entahlah. Mungkin gue selalu berusaha make logika gue. Jadi waktu gue jatuh cinta sekali pun, gue gak akan memberikan semua hati gue buat orang itu.”
Tiba-tiba nama itu muncul di kepalaku. Tia.
“Sis. Sorry yah. Bukannya gue ngebelain Ronny atau gimana. Tapi gue tau apa rasanya mencintai seseorang dengan sepenuh hati tapi gak dibales. Dan gue tetap mencintai orang itu dengan sepenuh hati. Walaupun terkadang pada akhirnya gue lelah sendiri. You were always there kan sis? You know how my love life kan? Apa yang terjadi kalau orang itu gue sis? Apa yang bakal lu omongin ama gue sis?”
Dee kembali terdiam. Air matanya terus berlinang.
“Jujur aja, bagian yang ini lu kan ga pernah cerita ama gue. Gue selalu berpikir masalahnya tentang orang tua dan masalah dengan hati lu itu cuman tambahan aja. Tapi kalo kayak gini. Gue jujur aja ga tau mau bilang apa. Mungkin lu gak akan pernah nemuin orang yang mencintai lu kayak Ronny sis. Dan kalau lu gak pernah nyoba buat buka hati lu, lu ga akan pernah tau. Gue cuman gak mau liat lu nyesel aja sis. Gue tau there’s always a chance to get hurt. And I don’t wanna see you got hurt sis. Tapi gue juga pengen liat lu bahagia dan ga menyesal nantinya.
Air matanya sudah mulai mengering sekarang. Dia mulai menyeruput capuccino-nya.
“Just listen to me yah sis. Don’t fall in love if you don’t wanna get hurt”
Aku kembali menyalakan rokokku. Dee mengeluarkan sebungkus Esse dari tasnya. Kami cuman terdiam sambil membiarkan kepulan asap rokok menari-nari di sekeliling.
Dee
Don’t fall in love if you don’t wanna get hurt.
Rasanya baru kemarin aku mendengar kata-kata itu dari mulut Denny. Tapi itu mungkin sudah sebulan yang lalu. Entahlah aku tak ingat.
Terminal 2F cukup ramai sore itu.
Ronny tiba-tiba memelukku. Posturnya yang tinggi membuatku terbenam di dada-nya yang bidang. Parfum-nya menyeruak memenuhi indra penciumanku. Tiba-tiba aku merasa nyaman luar biasa. Rasanya ingin tenggelam dalam pelukannya ini. Aneh. Sudah lama sekali aku tidak merasa senyaman ini. Sampai lupa aku bagaimana rasanya. Jatuh cinta-kah? Ataukah aku sudah benar-benar membuka hatiku untuknya? Seperti kata Denny. Mungkin aku sudah membiarkannya “masuk”.
Dan tiba-tiba Ronny melepaskan pelukannya.
“Dee, ada sesuatu yang mau aku omongin.” Nadanya begitu serius. Agak jarang mendengarnya ngomong se-serius ini. Terakhir kali waktu ia meminta aku menikahinya setahun lebih yang lalu. Aku cuman terdiam sambil memandangi wajahnya yang menunduk ke bawah. Matanya tak berani menatapku.
“Aku tak akan kembali kali ini,” ucapnya lirih.
APA???!!! Rasanya ingin berteriak aku. Tapi tidak ada suara yang keluar dari kerongkonganku. Mataku cuman bisa membelalak.
“Sudah cukup aku menunggu Dee. Aku tidak akan pernah bisa membuatmu bahagia. Mudah-mudahan nanti ada laki-laki lain yang bisa membuatmu bahagia. Sayang laki-laki itu bukan aku.”
Ronny memelukku sekali lagi. Sambil membisikkan sesuatu di telingaku, “I love you Dee.. always..,” suaranya terdengar begitu merdu.
And I love you too Ron! Teriakku. Tapi tak ada suara yang keluar. Aku hanya mematung dan membisu.
Kemudian ia mendaratkan ciumannya di pipiku. Begitu lembut. Begitu indah. “Always..,” bisiknya sekali lagi.
Dan dia berjalan menjauh. Tanpa menoleh. Cuman ransel besarnya yang terlihat.
Semua sudah terlambat.
Kakiku tiba-tiba lemas. Tubuhku kehilangan tenaganya. Dan aku menangis sejadi-jadinya. Aku tak pernah merasa sehancur ini. Rohku serasa dicabut, dipaksa kelar dari raganya.
Ron jangan pergi! Aku mencintaimu! Jangan pergi! Aku mencintaimu!
Jangan pergi, aku mohon.. jangan pergi..
Jangan pergi..
Jangan pergi..
Aku mohon..
Hingga kesadaran pun hilang dari kepalaku.
Tia
Sudah lama juga rasanya aku tidak pernah jalan bareng dengan Dee. Terutama sejak aku dan Denny mulai berpacaran. Padahal dulu kami sering sekali jalan bertiga.
Suzuki Swift hitam itu akhirnya datang juga.
“Bu, aku berangkat yah!” teriakku pada Ibu yang masih di kamar.
“Iya!!” balas ibu.
Aku segera bergegas memasuki swift hitam itu.
Sang pengemudi hari itu memakai “seragamnya”, Mango t-shirt dan jeans. Prada sunglasses menghiasi wajahnya.
“Hi Dee,” sapaku.
“Hi. Ready to go?”
Aku mengangguk. Dee memacu mobilnya.
It was a girls’ day out. Shopping and more shopping. Tanpa sadar, aku sudah membawa empat kantong belanja. Sementara Dee sendiri sudah membawa lima.
“Can we stop for a coffee Ti?” tanyanya.
“Sure.”
Dee langsung memesan frapuccino blended kesukaannya, dan ia menoleh padaku. Dia tahu, I don’t drink coffee. “I will have the signature hot chocolate.”
“Phew, that was fun,” kataku sambil membenamkan tubuhku pada sofa.
“I know, we should do this more often. I can’t remember when were the last time we go out together. Feels like it’s been ages. Yah mau gimana lagi, abis ada yang “busy” sih,” kalimat terakhir itu dia katakan dengan nada agak meledek sambil tangannya mengisyaratkan tanda kutip pada kata busy tadi. Aku cuman tersenyum.
“So, how are things between you two?” suara Dee kemudian berubah menjadi serius.
“We’re okay. One baby step at a time.”
“Hmm,” responnya bergumam.
“What? Is there something you want to tell me?”
“Ti, lu tau kan gimana kejadiannya gue sama Ronny?”
Aku ingat seminggu yang lalu ketika Dee menceritakan semuanya pada aku dan Denny sambil bercucuran air mata. Akhirnya Ronny menyerah dan meninggalkannya. Itulah akhirnya kenapa aku mengajaknya pergi hari ini. To cheer her up.
Aku mengangguk.
“Ti, gue gak mau itu kejadian ama lu dan Denny.”
Maksudnya? Aku tak mengerti. Aku rasa Denny bercerita sesuatu tentang hubungan kita. Mungkin tentang how I’ve been so ignorance.
“Gue tau apa yang lu pikirin. Lu pikir Denny curhat ama gue kan? Ngga Ti, dia gak cerita apa-apa kali ini. Denny selalu cerita ama gue tentang masalah percintaannya. Tapi kali ini beda Ti. Dia gak pernah cerita apa-apa sama gue. Satu hal yang dia bilang ama gue kalo dia mau ngejalanin yang kali ini dengan berbeda.”
“Trus ?” tanyaku penuh keingintahuan.
“Gue kenal lu dan gue kenal Denny. You both are my best friends. Dan Denny to me is like my own brother. Gue cuman pengen ngeliat kalian bahagia. Dan gue gak mau lu harus ngalamin apa yang gue alamin Ti.”
“Maksudnya apa?” tanyaku. Semakin penasaran dengan arah pembicaraan Dee.
“Lu tau kan gimana Denny mencintai lu? Gimana dia mau ngorbanin apa aja. Termasuk perasaannya sendiri buat lu?”
“Iyah.. tapi..,” belum lagi selesai aku menyelesaikan kalimat itu.
“Iya Ti, gue tau. Ini juga berat buat lu. Kita tuh mirip lagi Ti. We never let anyone take control of our heart. Gue tau. Gue juga tau kok rasanya annoyed dengan perhatian yang mungkin terlalu berlebih, irritated dengan sms yang bertubi-tubi. Gue tau Ti. Karena Ronny juga kayak gitu. Dan lu tau apa yang gue lakukan? Gue selalu me-respon dia dengan dingin Ti. Gue bahkan gak pernah ngasih dia kesempatan.”
Aku cuman terdiam. Perasaanku campur aduk. Dee has always been my best friend, mungkin kedekatanku dengannya tidak sedekat Denny. Tapi kami dekat, dan berkali-kali dia tempatku bercerita tentang masalah yang paling pribadi. Tapi ini. Sepertinya kali ini dia sudah melanggar batas privacy-ku. Ada daerah-daerah di hatiku yang aku ingin jaga dari siapapun. Not even my best friend.
Dee lalu melanjutkan kalimatnya, “Gue tau mungkin lu bakal offended dengan kata-kata gue ini. Karena gue udah melanggar privacy lu. Gue tau. Dan gue ambil resiko itu, kalau setelah gue ngomong ini lu mungkin ga mau nganggep gue sebagai temen lagi. Gue ambil resiko itu..”
Tiba-tiba aku merasa ingin membela diri, “Dee, lu pikir gue juga ga berusaha apa? Gue berusaha Dee, dan itu gak mudah. Lu juga tau kan itu. Itu gak mudah!” nada bicaraku mulai meninggi.
“Lu pernah bener-bener mencintai seseorang dengan sepenuh hati lu?”
Aku tertunduk. Terdiam. Mencoba mengingat hubungan-hubunganku sebelumnya.
“Ti. Lu gak akan pernah ngerti gimana rasanya, sampai lu bener-bener mencintai seseorang dengan sepenuh hati lu. Gue tau resiko untuk terluka dan sakit besar banget. Tapi ada seorang sahabat gue bilang gini, “Don’t fall in love if you don’t wanna get hurt”. Dan pada saat gue bisa mencintainya dengan sepenuh hati gue. Semuanya terlambat Ti. Terlambat. Dan itu jauh lebih sakit Ti. Jauh lebih sakit..” Air mata kemudian membanjiri mata Dee.
Dia cuman terisak-isak dan dan terus menangis. Aku memeluknya.
“Jauh lebih sakit Ti, karena lu gak pernah tau gimana rasanya..” ucapnya lirih.
“Jauh lebih sakit.,” ucapnya berulang-ulang sambil terus menangis.
Perasaanku kembali campur aduk.
Denny
Blitz Megaplex Pacific Place. Sunday. 1330 hrs.
Aku masih mengantri tiket Astro Boy 3D. Hari ini pemutaran perdananya.
Ada sepasang kekasih mengantri di depanku. Si perempuan menggelayut di lengan si laki-laki dengan mesra. Lalu si laki-laki mengucapkan sesuatu kepadanya. Dari gerak bibirnya, aku mengambil kesimpulan apa yang dia katakan, “Makasih udah mau nemenin aku ya sayang.” Si perempuan kemudian membalasnya dengan kecupan di pipi sambil membisikkan sesuatu. Mungkin dia bilang, “you’re welcome sayang.”
Aku tentu saja sendiri. Mana mungkin Tia mau menemaniku nonton. Aku berusaha menyibukkan diriku dengan memperhatikan tingkah laku orang-orang. Sambil setiap lima menit sekali aku memeriksa blackberry-ku kalau-kalau ada pesan dari Tia. Pesan terakhir darinya kira-kira satu jam yang lalu. Walaupun aku tahu dia tidak akan membalas pesan itu, tapi aku tetap saja memeriksa blackberry-ku.
Still.. Aksara Bookshop.. Pacific Place 1700 hrs
Aku masih berkeliaran disini. Menenggelamkan diriku di antara rak-rak buku ini. Buku. Selalu tidak pernah gagal menemani aku. Apalagi di kesendirian yang paling dalam. Aku membayar buku “Writing The Breakout Novel” di kasir. Si kasir, memberiku senyum sambil berkata, “sendirian aja mas?” Mungkin karena dia terlalu sering melihatku sendiri. “Yah sendirian, emangnya lu liat gue berdua! Kalo bisa gak sendiri sih pengennya juga ditemenin!” umpatku dalam hati. Aku cuman memberinya senyum tanpa berucap sepatah kata pun, lalu mengambil kantong plastik berisi bukuku tadi dan berlalu.
Lampu merah blackberry-ku masih tidak berkedip.
Aku menyalakan mesin mobilku dan mengendarai-nya keluar dari pelataran parkir. Antrian mobil yang panjang menghentikanku di pintu keluar. Akhirnya giliranku, jalan SCBD di depan Pacific Place cukup lengang. Aku masih sempat melirik blackberry-ku, tetap tidak berkedip.
Pikiranku menerawang, sedang apa dia disana? Adakah aku terlintas di benaknya. Adakah... Tiba-tiba pandanganku kabur.. Aku merasa kesepian sekali. Aku hanya ingin ada yang menemaniku. Hanya itu. Aku masih sempat melirik lagi blackberry-ku, lampu merahnya tetap tidak berkedip. Lalu semua berganti gelap.
Tia
Aku benar-benar kesal dengan Dee. Berani-beraninya dia memasuki daerah “privacy” itu. Dan aku tidak percaya kalau Denny tidak bercerita apa-apa. Tidak mungkin.
Denny. Apa kabarnya dia hari ini? Agak tidak biasanya, kemarin seharian pebuh dia tidak mengirim sms atau telpon. Hmm.. Aneh juga, kenapa aku berpikiran seperti ini. Tidak seperti biasanya. Apakah kata-kata Dee terlalu merasuki pikiranku? Ough, aku benci!
Tidak! Aku takkan biarkan dia menguasai hatiku. Seperti awal-awal hubungan kita. Tidak! Tak akan aku biarkan!
“Ti! Taksi-nya uda dateng nih!” suara ibu berteriak dari lantai bawah. Aku melirik jam tanganku, jam 7.15. Aku bergegas mengambil tas kerja-ku, menuruni lantai dua dan berpamitan pada ibu.
“Sudirman Pak,” kataku tegas pada si supir taksi tanpa memberinya kesempatan untuk menyapaku lebih dahulu. Ia langsung menginjak pedal gas-nya.
Blackberry-ku berdering. Aku baca nama yang keluar. Dee. Panjang umur banget sih orang itu! Cukup malas aku menjawabnya.
“Halo,” jawabku agak ketus.
“Ti..”
“Kenapa Dee?” masih dengan nada malas.
“Kapan lu terakhir ngehubungin Denny?”
Pertanyaan itu sepertinya langsung memompa darahku ke ubun-ubun. Kali ini Dee benar-benar sudah kelewatan.
“Maksud lu apa sih Dee?!?” nadaku sudah meninggi.
“Ti, Denny meninggal kemarin. Tabrakan. Dia dimakamin siang ini.”
Aku cuman bisa terdiam. Bulir-bulir air mataku meleleh. Aku ingat perkataannya suatu hari.
“Kalau aku meninggal, kamu pasti orang terakhir yang tahu.”